Rabu, 01 November 2017

PERLUNYA MELESTARIKAN BUDAYA INDONESIA

Ada istilah, “Negara gemah, ripah, loh jinawi, karta, tata, raharja”. Istilah tersebut sangat fenomenal di kalangan masyarakat Indonesia terutama dalam khasanah etnis Jawa. Penggambaran suatu negara yang subur, makmur, selamat, dan tentram yang berasal dari budaya pedhalangan, dan menjadi pakem para dhalang ketika membawakan sebuah cerita. Akan tetapi, apakah negara kita sudah termasuk dalam salah satu kategori diatas?. Memang negara kita ini kaya, tanah subur karena berada di jalur gunung api sehingga tanah menjadi subur pasca erupsi vulkanik. Negara ini kaya akan bahan tambang, kaya akan hasil laut dan hutan. Namun, Indonesia ibarat pepatah, Anak ayam mati di lumbung padi. Demikian juga Nusantara ini, rakyatnya mayoritas masih berada dalam garis kemiskinan, bahkan garam, beras, dan bahan bakar minyak pun langka. Padahal negara ini adalah salah satu negara penting dalam ekspor minyak di dunia. Negara kita ini dijuluki negara maritim karena 70% wilayahnya adalah laut. Dan Indonesia merupakan negara penghasil beras terbesar di dunia, bahkan nama pulau Jawa, berasal dari kata “Jawawut” yang berarti padi. Apa yang menyebabkan ini terjadi? Apakah kita tidak sadar atau mungkin tak peduli dengan nasib bangsa kita sendiri?. Maka sangat betul kata Bung Karno, “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri”. Dan ucapan mutiara dari sang proklamator ini sekarang menjadi nyata. Bangsa kita ini dirusak bukan karena diserbu bangsa lain, melainkan digerogoti oleh oknum yang tak bertanggung jawab dari dalam. Sungguh perilaku kebinatangan, ibarat hama tikus yang menggerogoti padi di sawah hingga rusak. Padahal mereka ini bukan orang bodoh, mereka orang pintar, menamatkan pendidikan hingga sarjana maupun profesor. Akan tetapi mereka lupa, karena nafsu duniawi, bahwa mereka dapat duduk di kursi empuk kerana rakyat. Mereka menjadi pejabat karena rakyat yang memilih.

Apa yang membuat mereka berbuat demikian? Dan kita kok seakan tak peduli dengan nasib bangsa ini?. Salah satu penyebabnya adalah hilangnya rasa bangga pada warisan leluhur kita, baik budaya, adat, perilaku, norma, pamali, nasihat maupun wejangan, dan kesenian. Karena leluhur adalah asal muasal kita terjadi. Kita terbentuk menjadi suku Aceh, menjadi Suku Minang, Suku Jawa, dan lain sebagainya, karena leluhur kita. Coba kita lihat, di seluruh wilayah Nusantara, dari kota Sabang di ujung barat Sumatera, hingga Merauke di pulau Papua. Adakah budaya yang buruk? Jawabannya tidak. Bangsa bangsa di Asia merupakan pusat budaya yang sopan dan santun. Maka tak heran, orang orang Barat menjadikan negara di wilayah Asia sebagai tempat kunjungan hingga tempat tinggal. Mereka menganggap budaya mereka sudah teramat kacau dan bebas. Pergaulan bebas, narkoba, minuman keras, judi, seakan menjadi makanan keseharian mereka, dari sebab itulah kebanyakan bangsa Barat menuju Asia untuk kembali pada budaya yang lebih beradab, khususnya di Indonesia. Ironisnya, generasi muda Indonesia sendiri malah berkiblat pada budaya western yang bebas itu, dan meninggalkan indentitasnya sebagai salah satu anggota etnis atau suku mereka. Mereka lebih suka musik pop daripada musik gamelan Jawa yang mengalun indah. Mereka lebih senang melihat film Korea daripada melihat peertunjukan tradisional seperti ketoprak dan ludruk. Memang, globalisasi mengakibatkan banyaknya budaya budaya luar masuk ke dalam Indonesia silih berganti. Memang budaya Barat lebih maju daripada peradaban timur. Tapi kita hendaklah ingat, kita harus menyaring budaya mana yang positif dan budaya negatif. Yang positif kita amalan, misalnya ilmu pengetahuan, teknologi, dan lain-lain, dan budaya negatif yang hingar bingar kita buang. Kita contoh bangsa Jepang yang notabene negara maju di Asia namun mereka sangat menghargai budayanya, seperti melihat kabuki, perayaan tradisional, memakai kimono. Dan juga negara Korea yang digandrungi para kaum muda, masih memertahankan budaya aslinya, dan tak berkiblat pad budayan asing. Tapi kita malah berkiblat pada mereka. Dimanakah identitas kita?. Jangan selalu merasa bahwa budaya Nusantara kuno, tak keren. Jepang dan Korea yang sangat disenangi generasi kita saja masih mencintai budayanya, masa kita tidak?.

Sudah diketahui bahwa masyarakat Indonesia, dan orang Jawa pada umumnya, masuk agama Islam atas jasa Walisongo. Para Wali tersebut menggunakan berbagai cara yang damai untuk membuat orang Jawa tertarik dan bersedia masuk agama Islam tanpa paksaan, dan salah satu cara tersebuat adalah melalui kesenian. Pelopornya adalah sunan Kalijaga. Beliau menggubah wayang kulit Hindu peninggalan kerajaan Majapahit menjadi sebuah wayang baru yang sesuai dengan syariat Islam sebagai media dakwah, seperti tangan wayang dipanjangkan hingga sebatas kaki, gambar wayang dibuat menyamping. Salah satu tokoh yang pertama kali dibuat oleh sunan Kalijaga adalah tokoh wayang Janaka. Nama tokoh ini hanya dapat ditemui dalam khasanah pedhalangan Jawa. Jika dilihat dalam versi India, tokoh ini disebut Arjuna. Nama Janaka berasal dari bahasa Arab Jannah yang berarti surga. Sunan Kalijaga membuat wayang ini dan juga tokoh tokoh lainnya mengacu pada bentuk kaligrafi Arab Muhammad. Maka tak heran jikalau hidung wayang terkesan mancung dan lancip karena merujuk pada tulisan kaligrafi Arab. Sunan Kalijaga kemudian membuat lakon wayang yang berbau mistisme Islam, yaitu Dewa Ruci, yang berisi ajaran tauhid, terinspirasi dari kisah Nabi Khidir dan nabi Musa, kemudian lakon Jamus Kalimasada, yang berasal dari kata Kalimat Syahadat. Beliau juga membuat nama tokoh wayang Semar, Gareng, Petruk, Bagong, yang juga berasal dari bahasa Arab. Kemudian Sunan Giri menciptakan tokoh Girinata. Dan setiap walisongo membuat tembang macapat. Ritual slametan yang dulunya berasal dari ritual peribadatan orang hindu aliran bhairawatantra yang brpusat di Kediri, dengan duduk melingkar beramai-ramai tanpa busana. Kemudian oleh para sunan, tradisi tersebut tidak dihilangkan namun diganti dengan lafadz dzikir, doa islami, serta memakai pakaian yang menutup aurat. Lalu para wali menciptakan gamelan baru yang berakulturasi antara gamelan jawa, gamelan Champa, dan musik Arab maupun Cina untuk sarana dakwah dan dikenali sebagai gamelan Jawa saat ini. Dari uraian diatas kita dapat mengetahui bahwa kesenian dan adat Jawa sekarang adalah kultur Jawa Islam Mataraman, bukan lagi kultur Jawa Majapahit yang murni Hindu. Bahkan kesenian jaranan yang dianggap musyrik juga mengandung makna keislaman. Jadi, janganlah kita mengerdilkan budaya kita sendiri, karena semusrik musrik apapun budaya Jawa tetap mengandung ajaran dan makna Islami. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar