Ada istilah, “Negara
gemah, ripah, loh jinawi, karta, tata, raharja”. Istilah tersebut sangat
fenomenal di kalangan masyarakat Indonesia terutama dalam khasanah etnis Jawa.
Penggambaran suatu negara yang subur, makmur, selamat, dan tentram yang berasal
dari budaya pedhalangan, dan menjadi pakem para dhalang ketika membawakan
sebuah cerita. Akan tetapi, apakah negara kita sudah termasuk dalam salah satu
kategori diatas?. Memang negara kita ini kaya, tanah subur karena berada di
jalur gunung api sehingga tanah menjadi subur pasca erupsi vulkanik. Negara ini
kaya akan bahan tambang, kaya akan hasil laut dan hutan. Namun, Indonesia
ibarat pepatah, Anak ayam mati di lumbung padi. Demikian juga Nusantara ini,
rakyatnya mayoritas masih berada dalam garis kemiskinan, bahkan garam, beras,
dan bahan bakar minyak pun langka. Padahal negara ini adalah salah satu negara
penting dalam ekspor minyak di dunia. Negara kita ini dijuluki negara maritim
karena 70% wilayahnya adalah laut. Dan Indonesia merupakan negara penghasil
beras terbesar di dunia, bahkan nama pulau Jawa, berasal dari kata “Jawawut”
yang berarti padi. Apa yang menyebabkan ini terjadi? Apakah kita tidak sadar
atau mungkin tak peduli dengan nasib bangsa kita sendiri?. Maka sangat betul
kata Bung Karno, “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi
perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri”. Dan ucapan
mutiara dari sang proklamator ini sekarang menjadi nyata. Bangsa kita ini
dirusak bukan karena diserbu bangsa lain, melainkan digerogoti oleh oknum yang
tak bertanggung jawab dari dalam. Sungguh perilaku kebinatangan, ibarat hama
tikus yang menggerogoti padi di sawah hingga rusak. Padahal mereka ini bukan
orang bodoh, mereka orang pintar, menamatkan pendidikan hingga sarjana maupun
profesor. Akan tetapi mereka lupa, karena nafsu duniawi, bahwa mereka dapat
duduk di kursi empuk kerana rakyat. Mereka menjadi pejabat karena rakyat yang
memilih.
Apa yang membuat mereka
berbuat demikian? Dan kita kok seakan tak peduli dengan nasib bangsa ini?.
Salah satu penyebabnya adalah hilangnya rasa bangga pada warisan leluhur kita,
baik budaya, adat, perilaku, norma, pamali, nasihat maupun wejangan, dan
kesenian. Karena leluhur adalah asal muasal kita terjadi. Kita terbentuk
menjadi suku Aceh, menjadi Suku Minang, Suku Jawa, dan lain sebagainya, karena
leluhur kita. Coba kita lihat, di seluruh wilayah Nusantara, dari kota Sabang
di ujung barat Sumatera, hingga Merauke di pulau Papua. Adakah budaya yang
buruk? Jawabannya tidak. Bangsa bangsa di Asia merupakan pusat budaya yang
sopan dan santun. Maka tak heran, orang orang Barat menjadikan negara di
wilayah Asia sebagai tempat kunjungan hingga tempat tinggal. Mereka menganggap
budaya mereka sudah teramat kacau dan bebas. Pergaulan bebas, narkoba, minuman
keras, judi, seakan menjadi makanan keseharian mereka, dari sebab itulah
kebanyakan bangsa Barat menuju Asia untuk kembali pada budaya yang lebih
beradab, khususnya di Indonesia. Ironisnya, generasi muda Indonesia sendiri
malah berkiblat pada budaya western yang bebas itu, dan meninggalkan
indentitasnya sebagai salah satu anggota etnis atau suku mereka. Mereka lebih
suka musik pop daripada musik gamelan Jawa yang mengalun indah. Mereka lebih
senang melihat film Korea daripada melihat peertunjukan tradisional seperti
ketoprak dan ludruk. Memang, globalisasi mengakibatkan banyaknya budaya budaya
luar masuk ke dalam Indonesia silih berganti. Memang budaya Barat lebih maju
daripada peradaban timur. Tapi kita hendaklah ingat, kita harus menyaring
budaya mana yang positif dan budaya negatif. Yang positif kita amalan, misalnya
ilmu pengetahuan, teknologi, dan lain-lain, dan budaya negatif yang hingar
bingar kita buang. Kita contoh bangsa Jepang yang notabene negara maju di Asia
namun mereka sangat menghargai budayanya, seperti melihat kabuki, perayaan
tradisional, memakai kimono. Dan juga negara Korea yang digandrungi para kaum
muda, masih memertahankan budaya aslinya, dan tak berkiblat pad budayan asing.
Tapi kita malah berkiblat pada mereka. Dimanakah identitas kita?. Jangan selalu
merasa bahwa budaya Nusantara kuno, tak keren. Jepang dan Korea yang sangat
disenangi generasi kita saja masih mencintai budayanya, masa kita tidak?.
Sudah diketahui bahwa
masyarakat Indonesia, dan orang Jawa pada umumnya, masuk agama Islam atas jasa
Walisongo. Para Wali tersebut menggunakan berbagai cara yang damai untuk
membuat orang Jawa tertarik dan bersedia masuk agama Islam tanpa paksaan, dan
salah satu cara tersebuat adalah melalui kesenian. Pelopornya adalah sunan
Kalijaga. Beliau menggubah wayang kulit Hindu peninggalan kerajaan Majapahit
menjadi sebuah wayang baru yang sesuai dengan syariat Islam sebagai media
dakwah, seperti tangan wayang dipanjangkan hingga sebatas kaki, gambar wayang dibuat
menyamping. Salah satu tokoh yang pertama kali dibuat oleh sunan Kalijaga
adalah tokoh wayang Janaka. Nama tokoh ini hanya dapat ditemui dalam khasanah
pedhalangan Jawa. Jika dilihat dalam versi India, tokoh ini disebut Arjuna.
Nama Janaka berasal dari bahasa Arab Jannah yang berarti surga. Sunan Kalijaga
membuat wayang ini dan juga tokoh tokoh lainnya mengacu pada bentuk kaligrafi
Arab Muhammad. Maka tak heran jikalau hidung wayang terkesan mancung dan lancip
karena merujuk pada tulisan kaligrafi Arab. Sunan Kalijaga kemudian membuat
lakon wayang yang berbau mistisme Islam, yaitu Dewa Ruci, yang berisi ajaran
tauhid, terinspirasi dari kisah Nabi Khidir dan nabi Musa, kemudian lakon Jamus
Kalimasada, yang berasal dari kata Kalimat Syahadat. Beliau juga membuat nama
tokoh wayang Semar, Gareng, Petruk, Bagong, yang juga berasal dari bahasa Arab.
Kemudian Sunan Giri menciptakan tokoh Girinata. Dan setiap walisongo membuat
tembang macapat. Ritual slametan yang dulunya berasal dari ritual peribadatan
orang hindu aliran bhairawatantra yang brpusat di Kediri, dengan duduk
melingkar beramai-ramai tanpa busana. Kemudian oleh para sunan, tradisi
tersebut tidak dihilangkan namun diganti dengan lafadz dzikir, doa islami,
serta memakai pakaian yang menutup aurat. Lalu para wali menciptakan gamelan
baru yang berakulturasi antara gamelan jawa, gamelan Champa, dan musik Arab
maupun Cina untuk sarana dakwah dan dikenali sebagai gamelan Jawa saat ini. Dari
uraian diatas kita dapat mengetahui bahwa kesenian dan adat Jawa sekarang
adalah kultur Jawa Islam Mataraman, bukan lagi kultur Jawa Majapahit yang murni
Hindu. Bahkan kesenian jaranan yang dianggap musyrik juga mengandung makna
keislaman. Jadi, janganlah kita mengerdilkan budaya kita sendiri, karena
semusrik musrik apapun budaya Jawa tetap mengandung ajaran dan makna Islami.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar